Senin, 12 November 2012

Senyum Di Ujung Senja


   
Dibalik dinding jendela terlihat senja di ufuk barat yang begitu indah dengan yang member keindahan. Senja dan Arinda tertawa senang gembira sembari menikmati indahnya senja yang biasa mereka lewati bersama. Mereka berdua adalah sahabat yang tak terpisahkan, sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan yang dengan begitu mereka saling melengkapi, suka duka dilewatinya bersama.
    Senja dan Arinda mempunyai kebiasaan menyimpan sesuatu hal dari yang terkecil hingga yang terbesar di dalam kotak/peti dan menguburnya dalam-dalam di bawah pohon, tepatnya di atas bukit yang biasa mereka lewati sepulang sekolah. Tempat itu adalah tempat mereka sama-sama saling mengisi kekosongan di relung hampa mereka. Setiap pulang sekolah mereka berdua melewati bukit itu baik dalam suka maupun duka yang diberi nama “JA”, yaitu kepanjangan dari Senja dan Arinda
    “Rin, lihat tuh senjanya indah banget”, ujar Senja dengan girang
    “iya tuh…bagus banget. Gak kayak senja di sebelahku, heheheh”, canda Arinda
Sejenak terdiam sambil menatap senja di ufuk barat.
    “Rin, seandainya aku jadi senja beneran gimana? Yang slalu terbenam dengan sejuta keindahannya? Yang slalu mengiringi pekat malam?” Tanya Senja dengan tatapan senyum
    “aaahhh...kamu ngomong apaan sieh, kamu kan udah Senja yang slalu penuh dengan keindahan. Coba ajah Tanya sama ibumu!!!”
Sambil menikmati senja di sore hari, mereka isi kekosongan itu dengan canda tawanya.
    “Rin, aku puny aide cemerlang. Gimana kalau kita menulis suatu permintaan, tapi syaratnya harus dibaca besok bersama-sama, gimana?” pinta Senja
    “ide cemerlang tuh. Oke dech kalo begit…” jawab Arinda dengan senang hati
    “pokonya harus dibaca besik yach???”
Senja dan Arinda memulai untuk menulis permintaan mereka tanpa ada yang melihat satu sama lainnya, dan mereka menguburnya bersama
    Malam pun telah tiba, mereka pulang ke rumah masing-masing. Setibanya di rumah, Senja tampak kelelahan, wajahnya terliahat pucat, orang tua Senja pun gelisah melihat anaknya yang sudah tak berdaya.
                                                                      ***

    Pagi itu cerah sekali cuacanya, mentari tersenyum di ufuk timur, burung-burung berkicau menyapa gembira sang mentari yang beranjak meninggi.
    Tiba di sekolah, Arinda merasa kesepian. Dia tengok kanan kiri, depan belakang, tak terlihat batang hidung pun dari sosok sahabat tercintanya itu. “Ke mana Senja? Biasanya dia slalu member kabar kalau gak masuk sekolah, atau mungkin dia kesiangan?”
    Waktupun berlalu, pelajaran silih berganti. Arinda yakin sehabatnya hari itu absen, tapi mengapa Arinda yang sahabat dekatnya sendiri tidak di beri kabar kalau hari ini dia memang absen.
    Sepulang sekolah Arinda pulang sendiri tanpa ada Senja di sampingnya. Dia melewati bukit JA, duduk di bawah pohon sendiri, sunyi, sepi. Dia teringat akan sutu permintaan yang kemarin ditulisnya. Tapi Arinda ragu. Dia tidak bisa membuka peti itu tanpa ada Senja. Arinda kebingungan. Senja minta harus di buka sekarang juga. Lama berfikir akhirnya dibukanya peti itu.
Dear Arinda Sayang
        Setelah baca surat ini, aku hanya ingin memintamu untuk menjadikan aku yang terbaik bagimu. Aku diterima di kehidupanmu udah lebih dari cukup dan sungguh membahagiakan aku hanya ingin kau tersenyum saat senja tiba.
                                    Your best friend
Arinda tersenyum selepas membaca surat itu, sebentar terpaku dengan  isi surat itu, lalu bergegas pergi menuju rumah Senja. Di sepanjang perjalanan Arinda sangat gelisah, apa yang terjadi dengan sahabatnya, apa maksud dari surat itu???
    Setibanya dirumah Senja, yang ia dapati hanya Bu Narti (ibunda Senja). Lalu? Kemana Senja??
    “ibu, senja kemana?? Kenapa tadi tidak masuk sekolah?” Tanya Arinda
Tanpa berpikir panjang  Bu Narti mengajak Arinda masuk ke kamar Senja. Arinda mendapati Senja tengah tidur terbujur kaku. Wajahnya yang pucat, kusut, dan tubuhnya yang mengecil menjadikan Senja semakin tampak tidak berdaya.
    “senja… apa yang terjadi denganmu?” Tanya Arinda
Senja hanay terdiam dan meneteskan air mata, dan ketika itu Arinda langsung memeluk Senja dengan penuh kasih sayang. Bu Narti menceritakan apa yang terjadi dengan senja selama ini bahwa Senja mengalami gagal ginjal dan tidak mau berobat karena senja hanya ingin menikmati akhir usianya dengan membuat orang disekitarnya bahagia serta bisa diterima dengan tulus dan ikhlas. Meski dengan kondisi yang demikian Senja selalu tegar dalam menghadapi kehidupannya dengan mengabaikan kondisi tubuhnya yang sebenarnya tidak boleh terlalu capek.
    Menjelang senja, Arinda membawa senja keluar dengan kursi rodanya menuju bukit JA tempat mereka menjalin persahabatan yang indah.
    Sesaat senja memandang indahnya sore hari sembari duduk di kursi rodanya ditemani sahabat tercintanya.
    “Aku ngerti perasaanmu, aku udah anggep kamu seperti adikku sendiri” ujarnya pada Senja
    “Rin, lihat tuh di ufuk barat, senja itu begitu indah disertai sinarnya yang khas…(sambil tersenyum)!” bisik Senja sambil tangannya menunjuk ke arah senja itu
    Arinda yang terlihat sedih hanya bisa memandang Senja. Perlahan senja di ufuk barat mulai tertutup awan hitam diiringi dengan kepergian Senja yang menyunggingkan senyum terindah di bibirnya. Mengapa harus dia yang terlebih dahulu pergi?
    Kini senja di ufuk barat hanyalah tinggal kenangan dan menjadi saksi persahabatan mereka yang indah. Meski dengan kesedihan yang sangat, Arinda dapat tersenyum di ujung senja yang mulai meredup sinarnya dengan mengambil hikmah dari persahabatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar